KHOTBAH
.co
christian
online
Khotbah

Kristus dan Perjanjian Lama

Dari Khotbah

Langsung ke: navigasi, cari
Oleh Chris Wright

Berikut ini adalah tulisan Chris Wright (International Director, Langham Partnership International) mengenai hubungan antara Kristus dan Perjanjian Lama. Semoga tulisan ini dapat lebih memperlengkapi Anda dalam berkhotbah dari Perjanjian Lama.

Daftar isi

Bagian 1

Perjanjian Lama menceritakan kisah yang disempurnakan oleh Yesus

Di Matius 1, Matius mengawali Injilnya bukan dengan kisah kelahiran Yesus, tapi dengan silsilah Yesus. Ia seolah-olah berkata kepada pembacanya: Anda tidak akan mengerti cerita yang akan saya sampaikan kecuali Anda memandangnya dari sisi cerita yang terkandung dalam silsilah yang mengalir dari Abraham ke Daud, kisah pembuangan dan kembali dari pembuangan, sampai dengan "Yusuf, suami dari Maria yang melahirkan Yesus yang disebut dengan Mesias' (Matius 1:16).

Yesus adalah tujuan akhir dari kisah tersebut. Dari sudut pandang saksi Perjanjian Baru, cerita itu mengarah kepada-Nya. Dengan demikian, Yesus hanya bisa dipahami dengan benar dari sudut pandang cerita tersebut, dan sebaliknya. Cerita itu hanya bisa dipahami (dari sudut kekristenan) jika dipandang dari penggenapan Yesus. Perjanjian Lama bagaikan sebuah perjalanan yang bermakna apabila dipandang dari tujuan akhirnya. Anda tidak akan berada dalam perjalanan ini kalau Anda tidak memiliki tujuan khusus tersebut di benak Anda. Demikian juga, Anda tidak akan tiba pada tujuan akhir ini tanpa perjalanan khusus tersebut. Perjalanan dan tujuan akhir saling melengkapi.

Jadi cara saya yang pertama dalam 'memandang Yesus bila dihubungkan dengan Perjanjian Lama' adalah berkenaan dengan kesinambungan narasi. Akan tetapi, yang saya maksudkan bukan sekedar keterkaitan kronologis sebab Perjanjian Lama bukanlah sekedar kisah. Sebagai Firman Allah, Perjanjian Lama membentuk kisah itu sendiri.

Sudut pandang dunia kekristenan dibentuk oleh kisah agung dalam Alkitab, yang tentu saja berawal dalam Perjanjian Lama dan sebagian besar arahnya mengalir melalui Perjanjian Lama. Kisah penciptaan, kejatuhan manusia, penebusan dalam sejarah dan pengharapan masa depan dijelaskan semuanya dalam kitab suci bangsa Israel.

Akan tetapi, Perjanjian Baru menyatakan bahwa dalam Kristus kita memiliki batu penjuru keseluruhan rentangan besar narasi Alkitab yang membentang dari penciptaan ke penciptaan baru. Dia adalah tujuan akhir dari Perjanjian Lama yang menjadi bagian dari kisah agung, baik dari segi kronologis, yaitu Dia datang 'pada waktu yang tepat' pada akhir zaman Perjanjian Lama, maupun dari segi teologis dan eskatologis, yakni Dia juga menjadi tujuan akhir keseluruhan narasi Alkitab yang diluncurkan dan diantisipasi dalam Perjanjian Lama.

Perjanjian Lama menyatakan janji yang digenapi oleh Yesus

Dalam Matius 1-2 terdapat lima kutipan Perjanjian Lama yang dikatakan 'digenapi' melalui Yesus: Matius 1:22-23 (Imanuel), Matius 2:5-6 (Betlehem), Matius 2:15(Mesir), Matius 2:17-18 (Rahel), Matius 2:23 (orang Nazaret). Pernyataan-pernyataan ini jelas bukan sekedar prediksi. Beberapa diantaranya merujuk kepada masa lalu sejarah Allah dengan bangsa Israel.

Dengan cara ini tampaknya Matius ingin menunjukkan bahwa seluruh komitmen Allah terhadap umat-Nya dalam penebusan dan perjanjian, sebagaimana terdapat terutama dalam kitab nabi-nabi, sekarang telah mencapai klimaksnya dalam Yesus. Dia memahami bahwa dalam Yesus ada penggenapan akan janji, bukan hanya prediksi, melainkan satu 'janji' yang sangat besar yang dibuat Allah untuk bangsa Israel dan untuk bangsa-bangsa lain.

Kisah Perjanjian Lama yang agung bukan sekedar narasi dari serangkaian peristiwa dan generasi (seperti yang digambarkan oleh silsilah), tapi juga pernyataan maksud - sebuah maksud yang mencapai sasarannya dalam Kristus. Dengan demikian, Kristus bukan hanya ujung kisah Perjanjian Lama, tapi juga telos-nya; bukan hanya 'akhir dari perjalanan' tapi juga 'tujuan' dari perjalanan. Semua ini adalah satu janji agung yang mengarah ke depan kepada Yesus, tapi dengan keragaman yang besar.

Penggabungan kedua pokok di atas, lewat kiasan tentang sebuah perjalanan, membantu saya dalam menjelaskan, terutama kepada peserta pelatihan khotbah, cara membaca dan mengkhotbahkan Perjanjian Lama jika dikaitkan dengan Kristus, tanpa berusaha membuat keseluruhan Perjanjian Lama 'selalu mengenai Yesus' (karena ini akan jadi kecenderungan menafsirkan dan homiletik yang sangat aneh).

Jika kita duduk dalam kereta api ke Surabaya dari Jakarta, kita tahu bahwa Surabaya adalah ujung dan telos perjalanan kita - akhir dari perjalanan, sesuai dengan arti kedua kata tersebut. Jadi apa yang kita lihat dari jendela adalah pemandangan di tempat tersebut karena itulah perjalanan kita. Tujuan yang berbeda akan memiliki pemandangan yang berbeda dalam perjalanan. Inilah kereta api Surabaya. Akan tetapi, bukan berarti bahwa kemana pun kita memandang, kita sedang melihat Surabaya. Pemandangannya merupakan bagian dari sebuah perjalanan yang menuju ke Surabaya; tapi belum sampai Surabaya.

Oleh karena itu, saya berbicara tentang Perjanjian Lama sebagai 'Kristo-telik', bukan 'Kristosentris' (istilah ini saya peroleh dari seseorang yang tidak saya ingat lagi). Setiap bagian dari Perjanjian Lama, sedikit banyak, 'mengarah ke' Yesus - bagian dari pemandangan dalam perjalanan yang menuju kepadaNya. Akan tetapi, bukan berarti bahwa setiap ayat atau bagian dari Alkitab adalah tentang Yesus, seolah-olah Anda sedang memandang-Nya secara langsung dalam perjalanan tersebut. (Bersambung).


Bagian 2

Perjanjian Lama melukiskan identitas yang diterima Yesus

Matius 3:13-17 mencatat pembaptisan Yesus pada waktu suara sorgawi Allah Bapa memanggil-Nya dengan memakai sebutan dari Perjanjian Lama, yaitu sebagai Hamba Allah (Yesaya 42:1) dan raja Mesias anak Daud – Anak Allah (Mazmur 2:7). Bagian lain dalam Perjanjian Baru yang menyebut identitas Yesus atau menjelaskan pekerjaan-Nya juga diambil dari Perjanjian Lama: Anak Manusia, Juruselamat, Kristus, Nabi, Gembala, dll. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa salah satu dari sebutan ini sebagai gambaran fotografis yang tidak samar-samar dari Yesus dari Nazaret. Kebingungan seputar identitas Yesus dalam Injil menunjukkan bahwa yang sesungguhnya sama sekali tidak demikian. Maksud saya sederhana, yaitu dalam pergumulan untuk mengartikulasikan siapa Yesus menurut pendapat-Nya sendiri dan siapa Dia menurut pandangan pengikut-pengikut-Nya yang pertama, mereka selalu kembali pada kitab suci mereka, yang di dalamnya terdapat uraian tugas dan seluk-beluk pribadi Yesus.

Jadi itu adalah cara lain yang saya usulkan kepada pembaca dan pengkhotbah dalam 'memandang' Kristus dalam Perjanjian Lama – bukan dengan ketepatan gambaran fotografis, tapi dengan sejenis bahasa antisipatoris yang mengemukakan ciri-ciri pekerjaan dan seluk-beluk pribadi.

Secara lebih mendalam, kita dapat melihat identitas Kristus dalam kontur bangsa Israel – mengingat misi-Nya sebagai Mesias adalah untuk mewujudkan dan menghidupkan kembali kisah bangsa Israel, tetapi untuk tujuan yang berbeda dan lebih tinggi yaitu penebusan. Penjelasan ini mengarah kepada poin keempat:

Perjanjian Lama memprogramkan sebuah misi yang diselesaikan Yesus

Matius 4:12-17 – "Kerajaan Sorga sudah dekat!" Ungkapan Kerajaan Sorga tentu saja bukan bermula dari Yesus. Namun demikian, isinya yang sangat terperinci ada dalam Perjanjian Lama tentang apa yang akan terjadi pada bangsa Israel dan pada bangsa-bangsa ketika YAHWEH datang bertakhta sebagai raja yang diakui. Yesus mengawali misi-Nya dengan memanggil bangsa Israel untuk bertobat dan dipulihkan dan dengan mengumpulkan bangsa-bangsa (misi ganda yang lebih jelas dalam Lukas 1-4), di tengah-tengah perlawanan Iblis yang dahsyat.

Tinjauan saya yang lebih terperinci tentang misi Allah – yaitu penebusan bangsa-bangsa dan pembaharuan ciptaan – menunjukkan dengan lebih jelas konsistensi deklarasi misi tersebut dalam Perjanjian Lama (melekat dalam janji Allah kepada Abraham) dengan penegasan penyelesaiannya oleh Kristus dalam Perjanjian Baru. Berdasarkan pemahaman itu, saya memandang Kristus dalam Perjanjian Lama dengan cara yang sama dengan Paulus yang mengamati Injil diberitakan terlebih dahulu di tempat tersebut, dalam 'penginjilan pendahuluan' kepada Abraham sehubungan dengan berkat untuk bangsa-bangsa (Galatia 3:8).

Dengan menggabungkan dua pokok terakhir (identitas dan misi Kristus sebagaimana terikat dengan Firman dalam Perjanjian Lama), saya menemukan kombinasi yang sama dinyatakan dalam pasal terakhir Injil Lukas. Lukas 24 berisi ayat-ayat kunci yang dipakai untuk membahas bagaimana Perjanjian Baru memandang Kristus yang dikaitkan dengan Perjanjian Lama. Sekarang saya menyadari sesuatu yang signifikan pada waktu Yesus berjalan ke Emaus. Strategi hermeneutik Yesus untuk menjelaskan hal-hal tentang diri-Nya adalah dengan 'memulai dari kitab Musa dan seluruh kitab nabi-nabi'; Dia tidak memulai dari diri-Nya sendiri untuk menjelaskan Hukum Taurat dan kitab para nabi. Sungguh benar bahwa Firman Allah merupakan kunci untuk memahami Yesus sebagaimana Dia merupakan kunci untuk memahami Firman Allah.

Akan tetapi, dalam pertemuan murid-murid pada malam itu, Yesus secara meyakinkan mengartikulasikan pendekatan hermeneutikal terhadap Firman Allah, yang bersifat mesianis dan misional:

Lalu Ia membuka pikiran mereka, sehingga mereka mengerti Kitab Suci. Kata-Nya kepada mereka, "Ada tertulis demikian: Mesias harus menderita dan bangkit dari antara orang mati pada hari yang ketiga, dan lagi: dalam nama-Nya berita tentang pertobatan dan pengampungan dosa harus disam- paikan kepada segala bangsa, mulai dari Yerusalem. (Lukas 24:45-47)

Murid-murid Kristus harus membaca Perjanjian Lama untuk memperoleh makna mesianis (menunjuk kepada Yesus), dan makna misional (menunjuk kepada rencana Allah bagi bangsa-bangsa dan peran kita di dalamnya).

Perjanjian Lama mengemukakan nilai-nilai etis yang didukung Yesus

Matius 5:17-20 – Yesus menegaskan keabsahan Hukum Taurat. Seluruh Khotbah di Bukit mencer- minkan isi Perjanjian Lama. Ajaran Yesus (dan semua bagian lain dalam Perjanjian Baru), tentu saja melebihi dan memperdalam Perjanjian Lama, tapi dalam berbagai hal tetap bertumpu pada ajaran mendasar Perjanjian Lama yang diberikan kepada bangsa Israel, yaitu ajaran yang ditujukan untuk menolong umat Allah menjadi bangsa yang berbeda dari bangsa-bangsa di sekelilingnya. Seperti Perjanjian Lama, Yesus juga menekankan prinsip-prinsip mendasar seperti: prioritas mengalami anugerah keselamatan dari Allah sebelum berusaha hidup dalam ketaatan dan rasa syukur; meniru karakter dan tindakan Allah dalam perbuatan etis; memperhatikan orang yang kekurangan; belas kasihan dan keadilan sosial; perbedaan moral (garam dan terang). Oleh karena itu, menurut saya, ada kesinambungan nilai-nilai etis antara Kristus dan Perjanjian Lama, bahkan pada saat terjadi pembaharuan radikal.

Perjanjian Lama menyatakan Allah yang memiliki otoritas dan hadirat yang menjelma dalam Yesus

Dalam ayat pembukaannya, Matius memperkenalkan Yesus sebagai Mesias; sementara dalam Perjanjian Lama atau pandangan Yahudi abad pertama ke- mesias-an tidak sama dengan keilahian. Meskipun demikian, ada petunjuk-petunjuk dalam Injil, yang mencapai klimaks dalam pengakuan Yesus setelah kebangkitan. Petunjuk-petunjuk ini mengarah kepada pengakuan bahwa dalam pribadi Yesus dari Nazaret, Allah YAHWEH bangsa Israel benar-benar telah hidup di antara mereka – menyatakan dan melakukan hal-hal yang hanya bisa dilakukan oleh TUHAN. Kutipan dari Yesaya 40:3 (persiapkanlah jalan untuk TUHAN), yang digunakan oleh Matius untuk memperkenalkan Yohanes Pembaptis, menempatkan Yohanes dalam peran mempersiapkan jalan bagi TUHAN yang akan datang. Pertanyaan yang diajukan murid-murid Yohanes dalam pasal 11 membuat Yesus mengutip dengan jelas Yesaya 35 mengenai tanda-tanda yang akan menyertai kedatangan Allah kepada umat-Nya, diikuti oleh sebutan bahwa Yohanes adalah Elia yang dinubuatkan oleh Maleaki 3:1, yang diutus mendahului Allah untuk mempersiapkan jalan-Nya. Transfigurasi atau perubahan rupa (pasal 17), yang merupakan peristiwa misterius hadirat ilahi, diikuti oleh percakapan tentang Elia yang datang lebih dahulu - mengingatkan akan nubuat Maleaki bahwa Allah akan mengutus Elia sebelum Ia sendiri datang.

Akan tetapi, pernyataan paling jelas yang mengkait- kan Yesus kepada YAHWEH terdapat dalam klimaks pengakuan setelah kebangkitan dan pengutusan dalam Matius 28:18-20. Kitab Ulangan meringkas iman mono-Yahweh Perjanjian Lama dalam perkataan: "TUHANlah Allah di langit di atas dan di bumi di bawah. Tidak ada yang lain kecuali Dia." (Ulangan 4:35). Matius menggambarkan bagaimana Yesus dengan sikap tenang berkata, "KepadaKu telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi."

Dengan demikian, ketika membaca gambaran Allah dalam Perjanjian Lama, saya tidak mencari petunjuk yang dibuat-buat dalam setiap ayat bahwa Yesus harus ada di dalamnya. Melainkan, sebagai pembaca Kristen, saya menyadari bahwa Allah yang menyatakan diri-Nya kepada saya dalam lembaran-lembaran Perjanjian Lama adalah Allah yang saya kenal dan 'lihat' di wajah Yesus dalam Perjanjian Baru.

Secara singkat, ringkasan saya terhadap keenam poin di atas adalah bahwa saya melihat adanya hubungan organik antara Kristus dengan Perjanjian Lama yang bersifat historis (karena ada cerita yang mengaitkannya), mengandung janji (karena janji dalam yang satu digenapi dalam yang lain), representasional (karena identitas Israel yang menjelma dalam Yesus), misional (karena agenda ilahi yang diselesaikan oleh Yesus), etis (karena konsistensi antara tuntutan etis dan respon) dan yang terakhir inkarnasi (karena dalam Yesus dari Nazaret, Yang Kudus dari Israel hidup di antara kita).