KHOTBAH
.co
christian
online
Khotbah

Falsafah Biji Gandum

Dari Khotbah

Langsung ke: navigasi, cari

"...sesungguhnya, jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah." (Yohanes 12:24)

       PROFESOR Doktor Bungaran Saragih dalam kapasitasnya sebagai Menteri Pertanian pernah menyatakan demikian, "Hal yang perlu dikembangkan di Indonesia adalah teknologi berbasis pertanian!" Menurutnya, "Pembangunan sistem agribisnis merupakan penunjang ekonomi nasional!" Pernyataan Pak Bungaran sangat beralasan, mengingat sebagian besar penduduk Indonesia adalah masyarakat agraris.

       Sebagai negara agraris, wajarlah jika setiap suku bangsa Indonesia memiliki religi khusus berkaitan dengan ritus alam. Di Jawa Barat misalnya, masyarakat Sunda menghormati Nyi Pohaci, yakni dewi pelindung padi. Untuk menunjukkan bakti kepadanya, dilaksanakanlah beberapa ritus, misalnya: ritus menjelang musim menanam padi, ritus yang mengawali musim panen atau Kawoku juga ritus pasca panen, meliputi upacara Sarentaun atau Sedekah Bumi, memasukkan padi ke leuit (lumbung) dan Ngalaksa atau menikmati hasil panen pertama.

       Orang yang mengidentifikasikan diri sebagai orang modern sulit melihat kegunaan ritus dan upacara seperti diuraikan di atas. Sudah tentu mereka pun enggan melaksanakannya. Itulah sebabnya, upacara semacam itu masih bertahan hanya di desa-desa tertentu saja. Namun jika kita cermati benar-benar, ritus yang dihubungkan dengan peristiwa alam itu memiliki makna mendalam. Manusia, kendati telah berupaya keras, jika Sang Mahakuasa belum berkenan, maka keberhasilannya akan dihadang oleh pelbagai peristiwa alam seperti musim kering, hama, atau banjir. Bahkan jika panen berhasil baik, ada tantangan menyangkut harga jual yang belum tentu sesuai dengan harapan petani. Belum lagi menghadapi para pengijon atau tengkulak yang mempermainkan harga. Karenanya, masyarakat Sunda betul-betul menghayati kemahakuasaan Tuhan atas alam dan perlindungan-Nya kepada manusia melalui hasil bumi.

       Konsep keselamatan dalam iman Kristen bertolak dari keadilan dan kasih karunia Allah yang menjelma menjadi manusia dalam diri Tuhan Yesus. Tindakan itu adalah cara Allah yang memberlakukan hukuman atas dosa manusia, namun sekaligus lewat kasih-Nya Ia menyelamatkannya. Itulah yang tercatat dalam Injil Yohanes 12:20-36 tentang pernyataan Tuhan Yesus kepada para murid-Nya, bahwa Ia harus menyerahkan Diri-Nya kepada penguasa dunia ini. Ia menggunakan falsafah alam untuk menguraikan ajaran-Nya, bahwa Ia akan mati dengan menerima perlakuan yang keji dari manusia pada zaman itu. Ia tidak berdosa, namun Ia menanggung hukuman yang sepantasnya dikenakan pada buronan kelas kakap. Meski demikian, penyiksaan dan kematian-Nya tidak serta-merta mengakhiri misi-Nya selaku Penyelamat umat manusia. Ia justru berbicara tentang falsafah biji gandum yang harus ditanam dan mati, kemudian tumbuh untuk menghasilkan buah.

       Dengan ungkapan simbolik itu, Tuhan Yesus menyatakan kemuliaan-Nya lewat kematian yang segera disusul dengan kebangkitan-Nya dari antara orang mati. Ia adalah Mesias, Sang Penyelamat yang mati, sekaligus hidup. Karya adikodrati yang ditempuh-Nya menjadi jalan pengampunan dosa bagi umat manusia dan dunia ini. Melalui peristiwa itulah keadilan dan kasih Allah dinyatakan serentak.

       Allah tidak membatalkan penghukuman atas dosa yang seharusnya ditanggung oleh manusia, tetapi penghukuman itu ditanggungkan pada Tuhan Yesus, agar setiap orang yang beriman kepada-Nya memperoleh keselamatan dan kesempatan menjalani hidup baru.

       Para sosiolog dan antropolog merumuskan definisi religi sebagai paradox yang memiliki dua dimensi: di satu pihak religi memampukan umat mengatasi persoalan hidup karena memandang kepada Sang Mahakuasa, tetapi di pihak lain, sadar akan kelemahannya manusia juga menyerahkan diri ke dalam kekuasaan-Nya. Dampaknya, orang yang berpegang pada rasionalisme Barat sulit menerima ajaran semacam ini. Mana mungkin ada sesuatu yang gratis di dunia ini? Tak ada orang yang mau berkorban untuk orang lain tanpa imbalan! Tidak masuk akal!

       Berbeda dengan cara berpikir transaksional semacam itu, iman Kristen berpijak pada konsep Sola Gratia (hanya karena anugerah). Ya, anugerah Allah yang diberikan kepada manusia! Tuhan Yesus benar-benar berkorban demi keselamatan umat manusia dan dunia. Dengan demikian, ibadah dan ketaatan umat beriman kepada Tuhan bukan untuk memperoleh keputusan pengampunan, juga bukan sebagai upeti, tanda takluk dari pribadi yang tak berdaya, melainkan sebagai ungkapan syukur atas berkat yang tak ternilai berupa keselamatan dalam relasi yang baik dengan Tuhannya.

       Dimensi religius yang sejati terpantul melalui tindakan sosial. Sama seperti petani yang mewujudkannya dengan menyelenggarakan upacara pasca panen seraya mengajak seluruh warga masyarakat di desanya untuk bersuka cita dan bersyukur kepada Tuhan. Dengan demikian, ritus religius disatupadukan dengan ritus sosial. Akar-akar budaya yang bersifat tradisional itu ternyata mengandung falsafah yang penuh hikmah. Tak berlebihan jika warga masyarakat, khususnya generasi muda dan orang-orang yang merasa modern, membuka diri untuk menghargai makna yang terkandung dalam ritus-ritus alam.

       Siapa pun yang memahami hal itu secara baik, akan menyadari hakikat dirinya sebagai insan ciptaan Sang Khalik. Dengan demikian terhindar dari sikap takabur ketika meraih sukses, sebaliknya tak putus asa ketika mendapat banyak rintangan. Sikap ini menandai kedewasaan iman kita selaku umat beragama.


Diambil dari:

Judul artikel : "Falsafah Biji Gandum"
Judul buku : "Dari Kabar Mimbar: Kumpulan Renungan Pdt. U.T. Saputra"
Penulis : Pdt. U.T. Saputra, S.Th., M.Si.
Penerbit : Generasi Info Media, 2006
Halaman : 59--62