KHOTBAH
.co
christian
online
Khotbah

Dapatkah Kita Mengetahui Kebenaran Lewat Sejarah?

Dari Khotbah

Langsung ke: navigasi, cari

       Saat ini kita hidup di era posmodernisme di mana usaha untuk mempertahankan kebenaran dianggap sebagai keanehan. Alasannya, kebenaran sejarah sulit dibuktikan dan hanya merupakan opini yang subjektif.

Hal ini merupakan tantangan bagi kekristenan karena saat memberitakan Injil, kita tidak akan terlepas dari sejarah. Sewaktu menyatakan kepribadian Kristus melalui kelahiran, penyaliban, dan kebangkitanNya, kita bicara tentang sejarah. Oleh sebab itu, tidak heran ada banyak orang yang kemudian menyangkali fakta sejarah mengenai keberadaan Kristus.

Penyangkalan ini terjadi karena ada banyak kekecewaan terhadap berbagai jenis keyakinan. Para ilmuwan pun telah memberikan pernyataan‐pernyataan yang tidak memuaskan dan tidak dapat dipercaya. Kebenaran ternyata tidak sesederhana yang semula dipikirkan. Karena itu bagi generasi yang kebingungan dan terluka ini, orang‐orang yang meyakini suatu kebenaran dianggap sebagai yang ‘telah menyimpang’.

Mereka juga menyatakan bahwa ada ketidaksesuaian yang saling bertolak belakang pada pendekatan seseorang dalam mencari kebenaran di dalam sejarah. Karena itu semua pandangan sama sahnya dan definisi dari kebenaran sejarah pada akhirnya tidak diketahui.

Hal inilah yang akhirnya menimbulkan keraguan bahwa Alkitab telah mencatat kebenaran sejarah mengenai Kristus dan tokoh‐tokoh lainnya. Sejarah dianggap melampaui jangkauan karena tidak dapat diverifikasi walaupun kita mempunyai rekaman videonya. Namun jika kita melihat dampak dari pemikiran semacam ini, maka “bangunan” raksasa ini mau tidak mau harus dihancurkan.

Sejak pertengahan abad 19, definisi sejarah telah mengalami berbagai perubahan. Awalnya, sejarah dilihat sebagai ilmu pengetahuan yang dapat mempresentasikan fakta secara objektif. Tapi kemudian muncul masalah penafsiran, sehingga berkembang anggapan yang menyatakan bahwa sejarah tidak lebih dari ilusi. Selain itu diyakini, realitas sejarah bergantung pada konteks yang ditampilkan oleh seorang sejarawan. Isi dari semua dokumen sejarah adalah prasangka dari penulis di tengah‐tengah konteks budaya teks. Dengan kata lain, sejarah tidak dapat mengklaim nilai yang semuanya bebas dan netral. Oleh sebab itu, teks (Alkitab) tidak dapat menghadirkan kebenaran dari apa yang sebenarnya terjadi.

Edisi 2.PNG

Pertanyaannya: apakah sejarah dapat diperlihatkan dengan cara demikian? Apakah orang yang skeptis tersebut bersedia untuk konsisten dan jujur dalam mengambil pendekatan ini, yaitu tidak hanya dengan Alkitab tapi juga dengan peristiwa sejarah lainnya? Misalnya melalui peristiwa holocaust (pembantaian massal orang Yahudi oleh Hitler). Jika konsekuen dengan cara berpikir ini, maka kita tidak dapat meyakini apakah holocaust itu merupakan fakta atau bukan. Lalu jika hal ini tidak cukup meyakinkan, maka pandangan bahwa holocaust tidak terjadi harus menjadi kepercayaan yang berbobot sama dengan pandangan yang menyatakan bahwa peristiwa itu telah terjadi.

Di sinilah titik di mana relativisme sejarah telah runtuh dengan mudah. Tapi kita juga perlu menemukan perbedaan antara sejarah yang sesungguhnya dan sejarah yang palsu. Ada beberapa cara untuk mencocokkan fakta dengan interprestasi yang masuk akal dan bertanggung jawab.

Salah satunya, adalah sebuah metode yang oleh sejarawan James Kloppenberg dinamai sebagai “hermeneutik pragmatis”. Metode ini sederhana sekali: kita dapat mengakses kebenaran sejarah dengan menyatukan berbagai bukti yang ada. Holocaust misalnya, dibuktikan dengan disatukannya berbagai bukti yang ada sampai kita mendapatkan sebuah gambaran yang diyakini sebagai sesuatu yang betul‐betul pernah terjadi. Jendral dari AS, Dwight Eisenhower, bahkan dengan sengaja meninjau setiap camp Nazi dan kemudian memerintahkan media massa di Amerika dan Inggris untuk merekam sisa‐sisa kebrutalan di camp‐camp Nazi. Dalam hikmatnya, ia sudah memprediksi bahwa generasi di masa depan akan berusaha menyangkali bahwa peristiwa Holocaust pernah terjadi.

Sama seperti Eisenhower yang sudah merekam dan mengkompilasi informasi dari berbagai sumber, maka penulis kitab Lukas pun telah mengumpulkan kesaksian dari para saksi mata dan juga bukti‐bukti lain. Dengan begitu, orang‐orang non‐Yahudi seperti dirinya, yang belum pernah melihat tindakan Yesus di abad pertama di Palestina, akan ikut memiliki akses pada apa yang telah terjadi.

Jika kita tidak dapat meyakini adanya akses pada kebenaran di dalam sejarah, baik itu sejarah yang terjadi 60 tahun yang lalu maupun 2000 tahun yang lalu, maka dampaknya akan besar sekali. Kita bisa ragu‐ragu dalam menerima kebenaran historisitas dari Perjanjian Baru. Karena itu, jangan sampai kita menutupi diri kita dengan selimut penyangkalan sehingga kita tidak terbuka untuk mengetahui adanya kemungkinan dari kebenaran sejarah. Kasihan sekali jika Anda adalah orang yang semacam itu. ** (disarikan oleh Dina)</p>

Sumber: “Why Trust the Bible? (Answers to 10 Tough Questions)” oleh Amy Orr‐Ewing