KHOTBAH
.co
christian
online
Khotbah

Bukankah Ini Cuma Soal Interpretasi?

Dari Khotbah

Langsung ke: navigasi, cari

       Banyak orang meragukan Alkitab dan menganggap orang Kristen menafsirkannya sesuai kehendak pribadi atau kelompok masing‐ masing. Novel religi yang menghebohkan seperti ‘Da Vinci Code’ menunjukkan adanya beragam variasi tafsiran dari kehidupan Yesus. Karena itu, isu besar yang beredar tentang makna dan tafsiran memunculkan pertanyaan‐pertanyaan seperti ini: “Apakah kata dan teks punya makna yang mutlak pada dirinya sendiri ? Ataukah semua makna bergantung pada penafsiran? Apakah semua tafsiran itu sah? Apakah sebuah teks bisa berbicara kepada saya atau justru saya yang membuatnya bermakna sesuai kebutuhan?

Jika semua makna bergantung pada penafsiran, maka tidak ada gunanya membaca Alkitab. Memang, pemikiran bahwa tidak ada makna mutlak dalam semua teks sangat populer dalam konteks postmodern di masa kini. Pemikiran ini sebetulnya bertujuan menolak keberadaan dan kedaulatan Allah. Filsuf Friedrich Nietzsche mengungkapkan hal senada dengan mengatakan “Kita tidak bisa menyingkirkan Tuhan sampai kita bisa menyingkirkan tata bahasa.” Keinginan manusia untuk melepas‐kan diri dari Tuhan berhubungan erat dengan isu bahasa dan makna.

Filsuf Ludwig Wittgenstein (1889‐1951), misalnya, menyatakan pula bahwa penggunaan bahasa itu seperti sebuah permainan. Karena itu baginya, konsep kebenaran tidak berhubungan dengan realitas karena lebih merupakan permainan bahasa. Artinya, setiap pernyataan tidak memiliki suatu arti tunggal, tapi tergantung pada konteks pembaca. Jika diterapkan pada Alkitab, maka konteks pembaca inilah yang menentukan intepretasi dari teks. Akibatnya, tak ada kebenaran Alkitab yang berlaku mutlak pada semua budaya, bahasa dan situasi.

Pada dasarnya, kekristenan menerima peranan penting konteks pengguna bahasa, tetapi tidak menghilangkan peluang bagi teks untuk bisa memiliki makna sesuai konteks aslinya. Orang Kristen perlu mencoba mengerti Perjanjian Baru dengan membuka pikiran terhadap makna asli dari konteks di dalam teks.

Edisi 1.PNG

Selain meyakini soal kontekstualisasi makna, pemikiran postmodernisme juga berpendapat bahwa “pandangan universal yang menyatukan seluruh umat manusia sudah tidak ada, karena itu merupakan sejenis diktator yang membatasi kebebasan manusia”. Penolakan terhadap kebenaran universal ini meruncing pada tuduhan bahwa semua usaha untuk menetapkan makna objektif adalah upaya untuk menguasai orang. Jadi setiap kali membaca Alkitab, muncul kecurigaan bahwa para penulis maupun penafsirnya mau menguasai orang lain.

Konsekuensi lebih lanjut dari ide tentang manipulasi kekuasaan ini adalah keyakinan bahwa kebenaran bukanlah teori objektif, melainkan sekedar hasil imajinasi atau fiksi saja. Alasannya, sistim kebenaran berdampingan dengan sistim kekuasaan yang menopangnya. Jadi semua upaya penyataan kebenaran tentang sejarah dan fakta adalah permainan kekuasaan. Karena itulah, Alkitab juga dianggap sebagai alat kekua‐saan untuk mengendalikan orang.

Sebetulnya, berbagai pandangan di atas telah menjebak orang‐orang skeptis yang meyakininya. Jika mereka menggunakan penalaran ini untuk melawan Alkitab, maka mereka pun harus menerapkannya pada penalarannya sendiri. Hal ini seumpama ibu mertua yang mengeluh anak dan menantunya jarang menelepon dirinya, padahal ia sendiri sering bepergian sampai berbulan‐bulan tanpa memberi kabar.

Bahasa dan Makna

       Pandangan bahwa bahasa dapat memiliki makna asli, objektif dan universal membuat orang mencari keberadaan, kebenaran atau fakta yang menjadi dasar dari suatu pemikiran dan bahasa. Jika Allah tidak ada, maka bahasa pun tidak punya makna yang esensi. Semua makna ditentukan konteks, sehingga tidak ada yang tetap dan pasti. Sekali lagi, pandangan ini terbentur pada diri sendiri dan tidak bisa diterapkan. Komunikasi dapat dilakukan jika ada makna umum yang disetujui.

Karena itu sebagai orang percaya, kita tidak boleh memaksa orang lain percaya Alkitab hanya karena kita mengatakan Alkitab itu benar. Biarlah orang lain membaca Alkitab dengan memperhatikan maksud tujuan penulis kitab seperti Lukas, Yohanes, dll. Sikap kritis terhadap tujuan penulis akan membantu orang mengenali dan menilai Alkitab secara pribadi.

Saat ini banyak orang takut terhadap isi kitab suci agama yang bisa membangkitkan fundamentalisme yang berbahaya. Hal ini bisa dicegah jika pembaca mendalami maksud penulis sambil memperhatikan motivasi dan respon mereka sendiri, serta memperhatikan konteks sejarah teks dan budaya pembaca. Orang Kristen tidak diminta menerima teks Alkitab secara naif. Alkitab dibaca dengan pikiran terbuka dan dengan menanyakan pertanyaan‐pertanyaan yang mempertajam untuk menemukan kebenaran.** (Meefang).

Sumber: “Why Trust the Bible? (Answers to 10 Tough Questions)”‐oleh Amy Orr-Ewing